Kepada Eka Kurniawan: Maaf, Anda Terlalu Brutal. Saya Suka!
- vwrzk
- Mar 25, 2019
- 3 min read
Updated: Aug 30, 2020
Tidak ingat kapan pastinya, yang penting tak begitu lama dari hari ulang tahunku. Seorang teman yang sangat baik memberi saya sebuah buku yang sudah sering saya lihat di Gramedia namun saya belum tertarik untuk membacanya. Nama penulisnya sudah begitu lekat dengan telinga saya. Teman-teman saya yang doyan karya sastra tentu saja sudah menikmati buku tersebut. Tapi ntah kenapa saya belum tertarik untuk membeli atau membacanya.
“Seperti Dendam, Rindu Harus Dibayar Tuntas”. Begitu judulnya. Saya menerka-nerka apa isi dari buku tersebut. Melihat sampulnya yang warna hijau, gambar burung. Teman saya berkata, “Riz, dibaca ya. Itu salah satu novel yang gue suka banget.” Saya semakin penasaran. Kemudian, saya akhirnya memutuskan membuka lembar demi lembar.
Dan petualangan itu pun dimulai...
Di puncak rezim yang penuh kekerasan, kisah ini bermula dari satu peristiwa: dua orang polisi memerkosa seorang perempuan gila, dan dua bocah melihatnya melalui lubang di jendela. Dan seekor burung memutuskan untuk tidur panjang. Di tengah kehidupan yang keras dan brutal, si burung tidur merupakan alegori tentang kehidupan yang tenang dan damai, meskipun semua orang berusaha membangunkannya.
Novel ini memiliki tokoh utama, Ajo Kawir dan ‘burung’-nya yang tidak bisa bangun. Selama hidupnya ia berusaha untuk membangunkan sang ‘burung’, namun segala cara ia lakukan si ‘burung’ lebih nyaman tidur meringkuk, dengan tenang dan damai. Sahabat Ajo Kawir, Si Tokek menyalahkan dirinya sendiri akibat ‘burung’ Ajo Kawir tidak dapat bangun. Ia yang mengajak Ajo Kawir untuk mengintip Rona Merah. Sayangnya, kejadian yang harusnya mengasyikkan bagi keduanya malah menjadi kejadian yang mengenaskan ketika Ajo Kawir ketahuan oleh dua polisi yang mencoba memerkosa wanita gila itu, Si Rona Merah.
“Hanya orang yang enggak bisa ngaceng, bisa berkelahi tanpa takut mati,” kata Iwan Angsa sekali waktu perihal Ajo Kawir.
Ia satu dari beberapa orang yang mengetahui kemaluan Ajo Kawir tak bisa berdiri. Ia pernah melihat kemaluan itu, seperti anak burung baru menetas, meringkuk kelaparan dan kedinginan. Kadang-kadang bisa memanjang, terutama di pagi hari ketika pemiliknya terbangun dari tidur, penuh dengan air kencing, tapi tetap tak bisa berdiri. Tak bisa mengeras. (Hlm. 1)
Selama ‘burung’-nya tidur lelap, Ajo Kawir gemar mencari masalah. Ia akan memukul siapa saja yang menghalangi kegiatan yang ia lakukan. Ajo Kawir seperti melepaskan segala kesedihannya akibat ‘burung’ kecilnya itu. Semua orang yang tahu tentang ‘burung’ tersebut, mengasihani laki-laki itu. Apalagi ketika sebuah perkelahian mengantarnya bertemu dengan Iteung, perempuan petarung yang mampu membuat Ajo Kawir jatuh hati.
Semuanya akan terasa mudah kalau ‘burungnya’ normal. Namun, Ajo Kawir ketakutan ketika Iteung mencintai Ajo Kawir. Ia takut tidak bisa memberikan apa yang Iteung butuhkan dari dirinya. Ajo Kawir menjadi kalut, berusaha meninggalkan Iteung. Ia semakin sering berkelahi, semakin ingin membunuh untuk melepaskan emosinya. Hingga akhirnya Ajo Kawir lelah, lelah untuk memiliki emosi. Lelah untuk memukul. Ia akhirnya menirukan ‘burung’ kecilnya. Tenang, kalem dalam menghadapi setiap kerikil kehidupan yang ditapakinya.
Novel ini adalah karya Eka Kurniawan yang pertama kali saya baca. Dulu saya penasaran dengan Cantik Itu Luka, namun saya selalu kehabisan bukunya sehingga saya sudah tidak selera lagi untuk memburu buku tersebut. “Seperti Dendam, Rindu Harus Dibayar Tuntas” merupakan novel yang cukup vulgar. Berbahagialah sekaligus bersedihlan orang-orang yang memiliki imajinasi yang liar, novel ini sungguh menyiksa kalian. Eka Kurniawan mampu menyiksa kalian dengan kata-katanya dan alur cerita yang ia bangun.
Eka Kurniawa sangat berani menggunakan kata-kata tabu dalam novelnya ini. Ia bahkan mampu mengangkat lapisan sosial dimana para tokohnya berada. Bagaimana kasarnya kehidupan mereka. Betapa masih banyak sekali pelecehan yang terjadi di instansi pendidikan. Selain karya sastra yang ciamik, novel ini menyentil kita tentang realita yang sebenarnya terjadi di Indonesia. Kita mungkin tidak menyadarinya, namun itu terus terjadi di sekitar kita. Akankah kita peduli?
Comments