top of page
Search

Kata Ibu

  • Writer: vwrzk
    vwrzk
  • Aug 30, 2020
  • 5 min read

Ibuku bagai cenayang lingkungan.


Dulu waktu aku kecil, Ibuku selalu menyediakan sapu tangan untukku karena aku selalu ingusan tanpa sebab. Bahkan Ibuku mengaitkan sapu tangan tersebut di kerah bajuku dengan peniti agar aku tidak kesulitan untuk menggunakannya. "Biar gak usah pakai tisu," kata Ibu. Aku yang masih kecil hanya menerima apa yang Ibu berikan tanpa paham apa perbedaan tisu dan saputangan.


Dulu waktu aku mulai belajar nulis, Ibuku selalu memberikan kertas bekas hasil print yang tidak terpakai. Aku memerhatikan beliau sangat rajin menyisihkan kertas-kertas bekas itu untuk aku gunakan, atau untuk kakakku belajar, atau untuknya sendiri ketika ingin menumpahkan ide di kepalanya. "Kita harus hemat kertas, Nak. Kalau gak nanti hutan habis" kata Ibu. Ketika aku sudah semakin besar dan mempunyai adik, Ibuku membiasakan aku untuk menyisihkan kertas-kertas bekas agar bisa digunakan oleh adik-adikku yang lagi suka-sukanya menggambar dinosaurus dan belajar menulis.


Sejak aku masuk sekolah pertama kali, Ibuku selalu membawakan aku air putih di dalam botol minum dan bekal makanan. Ia menyelipkan dua lembar uang seribuan ke saku seragam. "Jajannya segini aja. Kan kamu udah bawa bekal. Jajan secukupnya," kata Ibu sambil mengusap kepalaku. Alhasil, setiap hari di sekolah aku selalu iri melihat teman-temanku yang jajannya banyak sedangkan aku cuma punya 2000 rupiah saja. Hanya cukup membeli beberapa butir permen dan semangkuk kecil bubur ayam. Kalau mau beli es krim pun, aku hanya sanggup beli yang paling murah. Tapi aku gak pernah merasa lapar karena ada masakan Ibu yang selalu siap sedia di tas sekolahku.


Beranjak remaja, aku sudah punya ponsel. Begitu juga dengan kakak perempuanku. Beberapa kali kami berdua sering meninggalkan charger ponsel tercolok di stop kontak tanpa ada ponsel di ujung satunya. Ibu selalu ngomel soal hemat listrik kalau kami ketahuan lupa mencabut charger ponsel ketika tidak dipakai. Gak cuma itu, beberapa kali kami suka lupa mematikan lampu kamar. Lagi-lagi Ibu ngomel soal hemat listrik. "Jangan buang-buang listrik. Kalau udah gak dipakai dimatikan lampunya. Kalau siang gak usah nyalain lampu. Buka gorden biar cahaya matahari masuk ke kamar kalian. Sehat tau!" kata Ibu. Kupingku panas mendengar omelan Ibu soal hemat listrik. Tapi memilih untuk menuruti dari pada harus mendengar omelannya setiap hari.


"Maghfira, airnya kalau udah penuh langsung dimatiin," kata Ibu ketika mendengar suara air yang sudah mulai tumpah dari bak mandi. Serta merta aku langsung mematikan keran mendengar Ibu Negara yang sudah bersabda. Ibuku selalu begitu. Selalu berisik soal hemat air. Ini mulai terjadi ketika aku suka berlama-lama di kamar mandi. Maklum, masuk usia remaja. "Kita harus hemat air. Bersyukur masih bisa dapet air bersih. Banyak orang yang gak bisa dapet air bersih," kata Ibu. Aku mengira Ibu bohong. Gimana bisa kita kekurangan air, Bumi aja terdiri dari lebih banyak air dari pada daratan. Ah, Ibu pasti bercanda supaya tagihan air gak membengkak.


Ternyata, Ibuku itu memang cenayang lingkungan.


Saat ini usiaku 23 tahun dan mataku sudah melihat begitu banyak bukti kerusakan lingkungan akibat ulah manusia. Krisis iklim menjadi isu yang hangat diperbincangkan tapi tidak ada tindak lanjut untuk memperlambat lajunya. Secara bersamaan, kata-kata Ibuku di masa lalu menyerang ingatanku.


"Biar gak usah pakai tisu..."

"Jajan secukupnya...."

"Hemat kertas ya, Nak. Hutan habis..."

"Bersyukur punya air bersih..."

"Listrik dihemat...."


Kata-kata Ibu membentuk kebiasaanku. Kata-kata Ibu bikin aku lebih memilih sapu tangan dari pada tisu. Bahkan sapu tangan sudah menjadi identitas seorang Rizka Aulia Maghfira. Kata-kata Ibu bikin aku bawa botol minum setiap berpergian, hingga saat ini. Kata-kata Ibu bikin aku jadi suka ngumpulin kertas tidak terpakai untuk dijadikan notes (bahkan untuk yang satu ini aku tularkan kepada teman-teman satu organisasiku pas aku kuliah S1). Kata-kata Ibu bikin aku selalu matiin lampu kalau gak dipakai, bikin aku selalu ngomel sama temen-temenku yang lain kalau mereka boros listrik. Kata-kata Ibu bikin aku lebih menghargai air bersih yang aku pakai. Kata-kata Ibu membentuk kebiasaanku. Saat ini aku semakin hati-hati dalam bertindak. Aku semakin membiasakan kebiasaan yang sudah susah-susah dibentuk oleh Ibuku sejak aku kecil. Aku mulai dengan diriku sendiri dan kemudian aku mulai memberi contoh kepada orang-orang disekitarku.


Aku ingat dulu aku sering dikatain seperti tukang angkot atau supir truk karena selalu membawa sapu tangan ke mana-mana. Reaksiku? Ya senang. Berarti aku dan tukang angkot dan supir truk udah ikut menyelamatkan lingkungan dengan menggunakan sapu tangan. Aku tidak pernah masalah dengan julukan itu. Malah bangga. Pernah sewaktu SMA aku lupa membawa sapu tangan ke sekolah. Hidungku tiba-tiba berulah. Aku bersin terus. Akhirnya, dengan berat hati, aku membeli satu kotak tisu untuk mencegah ingusku meleber kemana-mana. Aku miris melihat aku yang terus-menerus mengambil lembaran tisu dari kotaknya. Sejak saat itu aku punya sapu tangan cadangan di tas sekiranya aku lupa membawa sapu tangan harianku.


Kemudian, ketika aku kuliah S1, aku doyan ngumpulin kertas bekas di sekretariat organisasi yang aku ikutin. Aku ikut organisasi pers mahasiswa dimana semua orang akan menggunakan kertas untuk menuliskan ide atau sekedar mencatat hasil rapat. Kertas-kertas bekas aku kumpulkan, aku gunting, dan aku hekter. Jadilah notes kecil yang bisa dipakai siapa saja. Aku menghasilkan kurang lebih 10 notes kecil dengan ketebalan 50 lembar kertas. Ketika membereskan sekretariat, ternyata masih banyak kertas bekas yang tersembunyi di dalam lemari. Aku bagai melihat harta karun. Tumpukan kertas itu kemudian aku bawa ke percetakan untuk dipotong menjadi dua. Kemudian aku membeli karton tebal untuk dijadikan cover. Karton tebal dan kertas bekas disatukan dan dijilid menggunakan jilid ring. Voila! Jadilah beberapa buku tulis yang bisa digunakan kembali. Aku mengambilnya satu untuk kujadikan catatan kuliah. Satu buku bisa terdiri dari 200 lembar kertas bekas. Dengan bangga aku membawa buku-buku tersebut ke sekretariat. Setiap divisi aku berikan satu buku yang bisa dimanfaatkan. Selebihnya aku letakkan di lemari sekretariat, bagi yang membutuhkan silakan memanfaatkan buku tersebut. Sejak saat itu, kalau ada kertas bekas, semua orang akan memberitahuku untuk aku eksekusi lebih lanjut. Mengorbankan sedikit waktu, tenaga, dan uang untuk menyelamatkan hutan ternyata sangat menyenangkan!


Saat ini aku selalu membawa tas belanja atau plastik belanja yang sudah terpakai ketika aku mau ke supermarket. Awalnya memang terasa ribet, namun lama kelamaan aku semakin terbiasa. Perilaku ini sebagai bentuk nyata pengurangan pemakaian plastik di kehidupanku. Kenapa? Karena aku sudah menulis tesis tentang kampanye plastik yang ada di Indonesia. Seiring berjalannya penelitian untuk tesisku, aku semakin menemukan fakta-fakta mengerikan di balik permasalahn plastik sampah di Indonesia. Aku juga menyadari begitu lambatnya kita menyadari kerusakan lingkungan yang terjadi. Ini semua akan mempercepat kenaikan suhu di Bumi, mempercepat krisis iklim. Dulu mungkin aku tidak begitu peduli dengan masalah plastik, tidak terlalu peduli dibandingkan masalah hutan. Tapi seketika aku merasa harus mulai merubah kebiasaan seperti yang sudah dilakukan oleh ibuku sejak dulu. Aku harus mulai mengurangi pemakaian plastik sekali pakai. Suka atau tidak. Sudah banyak korban dari sampah plastik. Korbannya makhluk hidup lain, bukan manusia. Manusia masih terlalu pongah untuk sadar bahwa penyebab kerusakan adalah manusia itu sendiri.


Krisis iklim ternyata semengerikan itu. Banyak daerah yang sudah mulai kekurangan air bersih. Lagi-lagi apa yang Ibu katakan terbukti. Bahkan ada yang tidak bisa mengakses air bersih sama sekali. Separah itu. Cuaca tidak dapat diprediksi. Kebakaran hutan terjadi semakin sering. Tutupan hutan sudah mulai berkurang, padahal manusia masih bernafas menggunakan oksigen. Perusahaan yang menjual udara bersih bermunculan karena sulitnya mendapatkan udara bersih di masa sekarang. Kualitas udara rendah, menyebabkan berbagai macam penyakit pernafasan. Batu bara masih diagungkan, padahal energi kotor itu membawa malapetaka. Sekarang aku sadar dengan 'hemat listrik' yang selalu jadi bahan omelan Ibu dulu. Ibuku cenayang.


Well, saat ini yang bisa aku lakukan adalah memberi contoh dengan perilaku kepada orang-orang di sekitarku. Aku juga mengusahakan agar aku bisa lebih jauh lagi berkecimpung di bidang penyelamatan lingkungan, apapun profesiku kelak. Aku yakin semua orang bisa melakukan penyelamatan lingkungan, memperlambat laju krisis iklim, dan menyelamatkan Bumi dari kiamat lingkungan. Dimulai dari diri sendiri.


Ibuku benar. Kata-katanya dulu sudah dibuktikan oleh waktu. Bahwa kita harus menghemat. Belajar hidup secukupnya. Kini aku harus bisa melakukan seperti apa yang Ibuku lakukan dulu kepadaku. Kelak, ketika aku punya anak, anakku akan menulis seperti ini tentang aku. Bahwa aku mampu membentuk kebiasaan baik untuk menjaga lingkungan agar tetap berkelanjutan.



Aku sudah berbagi pengalaman soal perubahan iklim. Kamu juga bisa berbagi dengan mengikuti lomba blog "Perubahan Iklim" yang diselenggarakan KBR (Kantor Berita Radio) dan Ibu-Ibu Doyan Nulis (IIDN). Syaratnya, bisa kamu lihat di sini.






Comments


© 2023 by VWRZK. Proudly created with Wix.com

  • LinkedIn - Black Circle
  • Twitter Round
  • Instagram Black Round
bottom of page